Jumper (sebuah resensi)

Jumper

Setelah 2 hari “terkapar”, sejak jalan-jalan hari sabtu malam dan mulai terasa meriang di hari minggu, akhirnya pada hari senin setelah menyiapkan berkas-berkas lelang di kantor saya menuju ke Puskesmas di kantor.

Seperti biasa, vonis dokter adalah “Flu” mengarah ke “Radang Tenggorokan.” Langsung aja diberikan 3 jenis obat yang besarnya segede gaban 😦

Setelah itu, langsung balik ke rumah untuk beristirahat. Namun, setelah mikir-mikir sejenak, sepertinya bukan cuman fisik yang perlu istirahat, tapi otak juga. Akhirnya taksi yang ditumpangi, dibatalkan mengarah ke ciputat raya, namun berbelok ke Blok M Plaza.

Setiibanya di Blok M Plaza, langsung menuju ke Studio 21 yang terletak di Lantai 6 dan memesan tiket untuk film Jumper yang memang sudah diidamkan sejak hari sabtu 🙂

Tepat pukul 12, maka terdengar pengumuman “Pintu Studio 1 Telah Terbuka, Bagi Para penumpang yang telah memiliki karcis…..”

Eng..ing..eng…akhirnya film dimulai…

Adegan dibukan dengan memperlihatkan seorang pemuda, bernama David Rice yang memiliki kemampuan untuk berpindah tempat kemanapun yang dia inginkan hanya dengan memikirkan tempat tersebut. Pada awalnya, dia menggunakan kemampuan tersebut untuk membobol sebuah bank, cukup dengan berpindah dari kamarnya ke dalam lemari besi bank itu.

Maka sukseslah dia merampok berkarung-karung uang dan segera berfoya-foya dengan uang itu.

Hampir 1/5 awal dari film ini memperlihatkan David menggunakan kekuatannya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan menikmati dunia. Termasuk memperlihatkan dia sedang surfing di Fiji dan berikutnya sudah bersantai di atas sphinx di Mesir sambil tetap membawa papan luncurnya.

Sayang sekali, tidak ada adegan “ala heroes” disini. Kekuatan yang David miliki sepenuhnya tidak digunakan untuk membantu orang lain, namun digunakan untuk diri sendiri saja, termasuk ketika dia hendak “memanjakan” pacar semasa SMU-nya, Millie, dimana dengan ini maka petualangannya dimulai.

Singkat cerita (walaupun ada beberapa insiden sebelumnya), akhirnya David berhasil mengajak pacarnya ke Roma (tentu saja naik pesawat, karena dia tidak ingin diketahui memiliki kekuatan tersebut), dan menginap di sebuah kamar kelas 1 di hotel berbintang disana. Millie tentu saja terheran-heran dan selalu bertanya, apa pekerjaan David, yang selalu dijawab “perbankan.”

Pada saat mengunjungi colosseum, tempat para petarung gladiator di Roma, terjadi insiden yang mengancam David. Dimana pada tempat inilah akhirnya dia bertemu dengan sesama Jumper yang juga memiliki kemampuan serupa, juga 2 orang yang memburu dan berusaha membunuh para Jumper seperti dia.

Rupanya, dilain pihak, ada sebuah organisasi atau sekelompok orang yang berjuluk “Paladin” yang selalu memburu para Jumper dan berusaha membinasakannya.

Dari sinilah terus menerus terjadi adegan demi adegan dimana David berusaha untuk tetap hidup walaupun dikejar oleh para Paladin yang menggunakan senjata-senjata berteknologi tinggi. Di sisi lain, kehidupan David harus dibayar mahal juga dengan kematian ayahnya yang dibunuh oleh kelompok tersebut.

Dalam sebuah pertarungan akhir, David bekerjasama dengan Griffin (jumper yang ditemui di Roma), akhirnya bisa bertahan dari serbuan paladin yang dipimpin oleh Roland. Roland sendiri dibawa oleh David ke sebuah gua pada padang batu yang sangat luas.

Secara umum, tidak ada pesan apa-apa dari film ini. Tidak ada pesan moral, tidak ada jalan cerita yang rumit, semua berlangsung datar-datar saja.

Malah, tidak ada informasi paladin itu apa, jumper itu asalnya dari mana, mengapa paladin mengejar jumper yang “katanya” sejak abad pertengahan dan penjelasan lainnya. Semua terkesan tiba-tiba, asal muncul, seperti jumper itu sendiri. Tiba-tiba sudah berada di satu tempat.

Memang, yang dijual adalah kehebatan efek kamera dan animasi lainnya. Dimana yang ditekankan adalah kemampuan David untuk berpindah tempat. Itu saja sih…

Jadi, bagi yang ingin melihat film yang berteknologi tinggi dan gambar yang menarik tanpa memikirkan jalan cerita dan hanya sekedar “fun” silakan melihat film ini 🙂

8 Responses to Jumper (sebuah resensi)

  1. sunarto berkata:

    Terima kasih Atas koreksinya Pak 🙂 , (sori nggak nyambung dgn artikel diatas 🙂 )

  2. praboto berkata:

    wah padahal saya sudah mau berangkat untuk nonton jadi batal deh setelah baca resensi anda…kalo isinya cuma pencolotan seperti itu males juga nontonnya.
    Thanks banyak untuk resensinya.

  3. khalidmustafa berkata:

    Tapi sesuai dengan paragraf terakhir, kalau cuman mau “fun” silakan aja ditonton. Ajak anak2 juga seru tuh, utk menghayal tentang “Jumper” 🙂

  4. chatoer berkata:

    Filmnya khas Bourne Trilogy, karena sutradaranya sama, pindah2 kota di seluruh dunia gt. iya endingnya datar bgt

  5. Oche berkata:

    Jumper… kirain film ttg hardware komputer.. eh malah film yang kayak indonesia yang bisa menghilang.. kaya film Drama Kolosal Indonesia.. di Jaman Kerajaan… jadi males nonton nih…

  6. friendzofgod berkata:

    Kepingin nonton tapi belum sempat, thankz buat resensinya. Kalo mengenai latar belakang, asal usul, dll menurut saya sih disimpan dulu buat sekuelnya, biar penasaran.

  7. mnuh berkata:

    Judul cerita fiksi yang hebat, sehebat “jumper” clear cmos di bios Mobo :)) bang khalid nggak pernah ketinggalan film baru nih…?

  8. khalidmustafa berkata:

    hehehe, cuman iseng pak Nuh, soalnya beban kerjaan di jkt lumayan, jadi sekali-sekali refreshing lah 😉

Tinggalkan komentar